Kumpulan Puisi Hari Ibu Nasional 22 Desember 2021, Ada Kahlil Gibran Hingga Sapardi Djoko Damono

19 Desember 2021, 09:12 WIB
Kumpulan Puisi Hari Ibu Nasional 22 Desember 2021, Ada Kahlil Gibran Hingga Sapardi Djoko Damono /Ilustrasi Pixabay/5921373

SalatigaTerkini - Pada 22 Desember 2021 nanti, seluruh putra-putri Indonesia akan peringati Hari Ibu Nasional.

Hari Ibu Nasional adalah hari kasih sayang putra-putri untuk ibu yang sudah merelakan hidupnya untuk merawat dan membesarkan mereka.

Rasa cinta anak tidak hanya disampaikan saat Hari Ibu Nasional saja, namun kasih sayang dan perhatian anak harusnya diberikan sepanjang usia.

Ungkapan kasih sayang anak dapat diungkapkan melalui puisi karya penyair terkenal seperti Kahlil Gibran pemyair romantis asal Libanon, Chairil Anwar, Rendra hingga Sapardi Djoko Damono.

Baca Juga: Kumpulan Link Twibbon Hari Ibu Nasional 2021 Terlengkap

Baca Juga: Profil Biodata dan Fakta Menarik Ferry Irawan, Dikabarkan Dekat dengan Venna Melinda Ibu Verrell Bramasta

 

Berikut tim SalatigaTerlini rangkumkan kumpulan puisi Hari Ibu Nasional 22 Desember 2021 ada Kahlil Gibran hingga Sapardi Djoko Damono.

 

1. Mustofa Bisri (Gus Mus)

Ibu

Kaulah gua teduh
Tempatku bertapa bersamamu
Sekian lama
Kaulah kawah dari mana aku meluncur dengan perkasa
Kaulah bumi yang tergelar lembut bagiku
melepas lelah dan nestapa
Gunung yang menjaga mimpiku siang dan malam
Mata air yang tak berhenti mengalir membasahi dahagaku
Telaga tempatku bermain berenang dan menyelam

Kaulah, ibu, laut dan langit yang menjaga lurus horisonku
Kaulah, ibu, mentari dan rembulan yang mengawal perjalananku
mencari jejak sorga di telapak kakimu

(Tuhan, aku bersaksi
ibuku telah melaksanakan amanat-Mu
menyampaikan kasih sayang-Mu
Maka kasihilah ibuku
seperti Kau mengasihi kekasih-kekasih-Mu
Amin)

Baca Juga: HAMPIR TERUNGKAP? Spekulasi Pembunuhan Ibu dan Anak Subang : Ada Orang yang Berperan Melalui Medsos

2. Chairil Anwar

Ibu

Pernah aku ditegur
Katanya untuk kebaikan
Pernah aku dimarah
Katanya membaiki kelemahan
Pernah aku diminta membantu
Katanya supaya aku pandai

Ibu...
Pernah aku merajuk
Katanya aku manja
Pernah aku melawan
Katanya aku degil
Pernah aku menangis
Katanya aku lemah

Ibu...
Setiap kali aku tersilap
Dia hukum aku dengan nasihat
Setiap kali aku kecewa
Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat
Setiap kali aku dalam kesakitan
Dia ubati dengan penawar dan semangat
dan bila aku mencapai kejayaan
Dia kata bersyukurlah pada Tuhan
Namun...
Tidak pernah aku lihat air mata dukamu
Mengalir di pipimu
Begitu kuatnya dirimu...

Ibu...
Aku sayang padamu...
Tuhanku....
Aku bermohon pada-Mu
Sejahterahkanlah dia
Selamanya...

Baca Juga: Viral Seorang Ibu Lindungi Sang Anak dari Erupsi Gunung Semeru, Rela Muka Jadi Hitam

3. Kahlil Gibran

Ibu

Ibu adalah segalanya, dialah penghibur di dalam kesedihan
Pemberi harapan di dalam penderitaan, dan pemberi kekuatan di dalam kelemahan

Dialah sumber cinta, belas kasihan, simpati dan pengampunan
Manusia yang kehilangan ibunya berarti kehilangan jiwa sejati yang memberi berkat
dan menjaganya tanpa henti

Segala sesuatu di alam ini melukiskan tentang susuk Ibu
Matahari ada lah ibu dari planet bumi yang memberikan makanannya dengan
pancaran panasnya

Matahari tak pernah meninggalkan alam semesta pada malam hari sampai matahari
meminta bumi untuk tidur sejenak di dalam nyanyian lautan dan siulan burung-
burung dan anak-anak sungai

Dan bumi adalah ibu dari pepohonan dan bunga-bungan menjadi ibu yang baik
bagi buah-buahan dan biji-bijian
Ibu sebagai pembentuk dasar dari seluruh kewujudan dan adalah roh kekal, penuh
dengan keindahan dan cinta

Baca Juga: Rebutkan Hak Asuh, Ibu Bibi: Keluarga Vanessa Angel Baru Tiga Kali Temui Gala

4. WS Rendra

Sajak Ibunda

Mengenangkan ibu adalah mengenangkan buah-buahan.
Istri adalah makanan utama.
Pacar adalah lauk-pauk.
Dan Ibu adalah pelengkap sempurna
kenduri besar kehidupan.
Wajahnya adalah langit senja kala.
Keagungan hari yang telah merampungkan tugasnya.
Suaranya menjadi gema dari bisikan hati nuraniku.

Mengingat ibu, aku melihat janji baik kehidupan.
Mendengar suara ibu, aku percaya akan kebaikan manusia.
Melihat foto ibu, aku mewarisi naluri kejadian alam semesta.
Berbicara dengan kamu, saudara-saudaraku,
aku pun ingat kamu juga punya ibu.
Aku jabat tanganmu,
aku peluk kamu di dalam persahabatan.
Kita tidak ingin saling menyakitkan hati,
agar kita tidak saling menghina ibu kita masing-masing
yang selalu, bagai bumi, air dan langit,
membela kita dengan kewajaran.

Maling juga punya ibu. Pembunuh punya ibu.
Demikian pula koruptor, tiran, fasis,
wartawan amplop, anggota parlemen yang dibeli,
mereka pun punya ibu.
Macam manakah ibu mereka?
Apakah ibu mereka bukan merpati di langit jiwa?
Apakah ibu mereka bukan pintu kepada alam?
Apakah sang anak akan berkata kepada ibunya:
“Ibu aku telah menjadi antek modal asing;
yang memproduksi barang-barang yang tidak mengatasi kemelaratan rakyat,
lalu aku membeli gunung negara dengan harga murah,
sementara orang desa yang tanpa tanah jumlahnya melimpah.
Kini aku kaya.
Dan lalu, ibu, untukmu aku beli juga gunung
bakal kuburanmu nanti.”
Tidak. Ini bukan kalimat anak kepada ibunya.

Tetapi lalu bagaimana sang anak akan menerangkan kepada ibunya
tentang kedudukannya sebagai tiran, koruptor, hama hutan, dan tikus sawah?
Apakah sang tiran akan menyebut dirinya sebagai pemimpin revolusi?
Koruptor dan antek modal asing akan menamakan dirinya sebagai pahlawan pembangunan?
Dan hama hutan serta tikus sawah akan menganggap dirinya sebagai petani teladan?
Tetapi lalu bagaimana sinar pandang mata ibunya?
Mungkinkah seorang ibu akan berkata:
“Nak, jangan lupa bawa jaketmu.
Jagalah dadamu terhadap hawa malam.
Seorang wartawan memerlukan kekuatan badan.
O, ya, kalau nanti dapat amplop,
tolong belikan aku udang goreng.”

Ibu, kini aku makin mengerti nilaimu.
Kamu adalah tugu kehidupanku,
yang tidak dibikin-bikin dan hambar seperti Monas dan Taman Mini.
Kamu adalah Indonesia Raya.
Kamu adalah hujan yang dilihat di desa.
Kamu adalah hutan di sekitar telaga.
Kamu adalah teratai kedamaian samadhi.
Kamu adalah kidung rakyat jelata.
Kamu adalah kiblat nurani di dalam kelakuanku.

Baca Juga: Ibu Mertua Meninggal Dunia, Inul Daratista: Kami Toleransinya Kuat

5. Sapardi Djoko Damono

Ibu

Ibu masih tinggal di kampung itu, ia sudah tua.
Ia adalah perempuan yang menjadi korban mimpi-mimpi ayahku
Ayah sudah meninggal,
ia dikuburkan di sebuah makam tua di kampung itu juga,
beberapa langkah saja dari rumah kami.

Dulu Ibu sering pergi sendirian ke makam,
menyapu sampah, dan kadang-kadang, menebarkan beberapa kuntum bunga.
"Ayahmu bukan pemimpi," katanya yakin meskipun tidak berapi-api,
"ia tahu benar apa yang terjadi."

Kini di makam itu sudah berdiri sebuah sekolah,
Ayah digusur ke sebuah makam agak jauh di sebelah utara kota.
Kalau aku kebetulan pulang, Ibu suka mengingatkanku untuk menengok makam ayah, mengirim doa.

Ibu sudah tua, tentu lebih mudah mengirim doa dari rumah saja.
"Ayahmu dulu sangat sayang padamu, meskipun kau mungkin tak pernah mempercayai segala yang dikatakannya."

Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, sambil menengok ke luar jendela pesawat udara, sering kubayangkan Ibu berada di antara mega-mega.
Aku berpikir, Ibu sebenarnya lebih pantas tinggal di sana, di antara bidadari-bidadari kecil yang dengan ringan terbang dari mega ke mega
dan tidak mondar-mandir dari dapur ke tempat tidur,
memberi makan dan menyusui anak-anaknya.

"Sungguh, dulu ayahmu sangat sayang padamu," kata Ibu selalu,
"meskipun sering dikatakannya bahwa ia tak pernah bisa memahami igauan-igauanmu."

Baca Juga: Profil Biodata Lengkap dan Fakta Menarik Rara Nawangsih, “Ibu” Amanda Manopo yang Baru Saja Dilamar

6. Joko Pinurbo

Jendela Ibu

Waktu itu saya sedang mencari taksi untuk pulang.
Entah dari arah mana munculnya, seorang sopir taksi
tahu-tahu sudah memegang tangan saya,
meminta saya segera masuk ke dalam taksinya.

Saya duduk di jok belakang membelakangi kenangan.
Harum rindu membuat saya ingin lekas tiba di rumah,
minum kopi bersama senja di depan jendela.

Ia sopir yang periang.
Saat taksi dihajar kemacetan,
ia bernyanyi-nyanyi sambil menggoyang-goyangkan kepalanya yang gundul.
Tambah parah macetnya tambah lantang nyanyinya, tambah goyang kepalanya.

Sopir taksi tentu tak tahu, saya tak punya jendela yang layak dipersembahkan kepada senja.
Jendela saya seperti hati saya: dingin, muram, ringkih,
takut melihat senja tersungkur dan terkubur di cakrawala.

Lama-lama saya mengantuk, kemudian tertidur.
Taksi memasuki jalanan mulus dan lengang,
melintasi deretan bangunan tua dengan jendela-jendela yang tertawa.
Di tepi jalan berjajar pohon cemara.
Di ranting-ranting cemara bertengger burung gereja.

Laju taksi tiba-tiba melambat.
Taksi berhenti di depan kedai kopi.
“Mari ngopi dulu, Penumpang,” ujar sopir taksi.
“Baiklah, Sopir,” saya menyahut,
“aku berserah diri menuruti panggilan kopi.”

Di kedai kopi telah berkumpul beberapa sopir taksi beserta penumpang masing-masing.
Mereka dilayani seorang perempuan tua yang keramahannya membuat orang ingin datang lagi ke kedainya.
“Urip iki mung mampir ngopi,” ucapnya seraya menghidangkan secangkir kopi di hadapan saya, lalu menepuk-nepuk pundak saya.
Wajahnya yang damai dan matanya yang hangat segera mengingatkan saya pada ibu.

Saya terbangun setelah sopir taksi menepuk-nepuk pundak saya.
Ah, taksi sudah sampai di depan rumah.
Setelah saya membayar ongkos dan mengucapkan terima kasih,
Sopir tersenyum dan berkata, “Selamat bertemu senja di depan jendela, Penumpang.”

Saya berterima kasih kepada ibu yang diam-diam telah mengirimkan sebuah jendela kecil untuk saya.
Paket jendela saya temukan di beranda.
Saya tidak pangling dengan jendela itu.
Jendela tercinta yang kacanya bisa memancarkan beragam warna.

Ibu suka duduk di depan jendela itu malam-malam.
Cahaya langit memantul biru pada kaca jendela.
Ketika malam makin mekar dan sunyi kian semerbak,
ibu melantunkan tembang Asmaradana
dan mata ibu sesekali terpejam.
Ibu menyanyikan tembang itu berulang-ulang sampai anak-anaknya tertidur lelap.

Saya pasang jendela kiriman ibu di dinding kamar.
Cahaya hitam pekat membalut kaca jendela.
Perlahan muncullah cahaya remang diiringi suara burung dan gemercik air sungai.
Jendela saya buka, lalu saya duduk tenang ditemani secangkir kopi.
Saya dan kopi terperangah ketika cahaya berubah terang.
Tampaklah di seberang sana sungai kecil yang mengalir jernih di bawah langit senja.

Di tepi sungai ada batu besar.
Saya lihat sopir taksi saya sedang duduk bersila di atas batu besar itu,
mengidungkan tembang Asmaradana kesukaan ibu.
Kepalanya yang gundul berkilauan.

7. Emha Ainun Nadjib (Cak Nun)

Bunda Airmata

Kalau engkau menangis
Ibundamu yang meneteskan air mata
Dan Tuhan yang akan mengusapnya
Kalau engkau bersedih

Ibundamu yang kesakitan
Dan Tuhan yang menyiapkan hiburan-hiburan
Menangislah banyak-banyak untuk Ibundamu
Dan jangan bikin satu kalipun untuk membuat Tuhan naik pitam kepada hidupmu

Kalau Ibundamu menangis, para malaikat menjelma butiran-butiran air matanya
Dan cahaya yang memancar dr airmata ibunda membuat para malaikat itu silau dan marah kepadamu

Dan kemarahan para malaikat adalah kemarahan suci sehingga Allah tidak melarang mereka tatkala menutup pintu sorga bagimu

Ungkapan kasih sayang kepada Ibu tidak hanya melalui kumpulan puisi diatas, dapat disampaikan melalui Twibbon yang bisa dibagikan melalui media sosial.

Demikian diatas kumpulan puisi Hari Ibu Nasional 22 Desember 2021 ada Kahlil Vibran hingga Sapardi Djoko Damono.***

Editor: Heru Nugroho

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler